JAKARTA (Suara Karya): Kendati pemerintah dan Humas Mahkamah Agung telah menegaskan tentang tak ada larangan penyelenggaraan ujian nasional (UN), namun pernyataan kontra seputar UN masih terus berlanjut. Bahkan Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengultimatum bahwa UN 2010 sebagai UN masa transisi.
"UN transisi adalah pelaksanaan UN terakhir jika Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tidak memperbaiki kelalaian dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia kepada yang menjadi korban UN," kata Ketua Komite III DPD, Sulistiyo, usai rapat kerja Komite III DPD dengan Mendiknas di Jakarta, Rabu (2/12).
Sulistiyo yang juga Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menambahkan, pemerintah harus memperbaiki kelalaian seperti apa yang menjadi putusan MA dalam perkara No 2596K/Pdt/2008. "Pemerintah harus segera mengimplementasikan kebijakan yang berhubungan dengan dampak psikologis dan mental terhadap peserta didik menjelang UN," ujarnya.
Pernyataan senada dikemukakan Ketua Komnas Anak, Seto Mulyadi. Dalam kesempatan terpisah, kemarin, di Jakarta, Kak Seto, sapaan akrab Seto Mulyadi, mengingatkan, pemerintah tidak boleh menyelenggarakan UN sebelum perbaikan sistem pendidikan di seluruh Indonesia. "Sebab, hingga kini masih banyak ketimpangan dalam sarana dan prasarana pendidikan dan kualitas gurunya," kata Kak Seto.
Jika UN 2010 tetap digelar, menurut Kak Seto, berarti pemerintah tidak mengakui kebenaran yang terjadi dalam dunia pendidikan di Tanah Air. "Selama standar guru belum sama, proses belajar juga belum sama, bagaimana terhadap anak bisa dilakukan ujian dengan standar yang sama," ucapnya menegaskan.
Sementara itu, Koordinator Tim Advokasi Korban Ujian Nasional Gatot mengingatkan pemerintah untuk tidak main-main dengan sembarangan menggelar UN. Sebab, UN tidak boleh dilaksanakan pemerintah sebelum ada perbaikan yang memadai di bidang pendidikan sesuai putusan kasasi MA.
"Sesuai putusan MA, UN bisa digelar dengan sejumlah syarat, yaitu adanya perbaikan kualitas guru, perbaikan sarana dan prasarana, serta kemudahan akses informasi. Jadi, UN harus dihentikan dulu sebelum prasyarat-prasyarat itu dipenuhi," ujar Gatot dalam diskusi seputar UN 2010, di Jakarta, Rabu (2/12).
Apalagi, menurut Gatot, ada perintah untuk meninjau ulang UN dan memberikan konseling kepada para korban UN yang jelas sekali menegaskan bahwa UN bermasalah dan menjadi bagian yang harus dikaji ulang.
Gatot mengkritisi pernyataan Kabiro Humas MA Nurhadi terkait tidak adanya pasal yang melarang untuk menggelar UN. Ia menilai Nurhadi telah membuat penafsiran pribadi terkait dengan hal itu dan melampaui kewenangan hakim. Apalagi Nurhadi menyebut, apabila para penggugat yang berjumlah 58 tidak mempersoalkan pelaksanaan UN.
"Itu tidak objektif. Seharusnya menjelaskan gugatan secara utuh, tidak sepotong-sepotong kepada masyarakat. Humas MA harus segera meralat pernyataannya bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan untuk periodesasi Ujian Nasional 2005/2006 karena gugatan dilakukan untuk permasalahan ujian," kata Gatot.
Ia mendesak Humas MA untuk menghentikan pembelaan dan menjadi corong pemerintah dalam rangka mempertahankan penyelenggaraan UN sebagai syarat kelulusan. "Tidak perlu ada penjelasan dari Humas MA karena sifatnya MA menolak kasasi dari pemerintah. Yang diperlukan adalah penjelasan isi amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Humas MA," ujar Gatot.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Sukabumi, Bangun Surya, menolak penghapusan UN karena dikhawatirkan terjadi tindakan sogok-menyogok antara guru dan murid seperti terjadi puluhan tahun silam. (Ant/Tri Wahyuni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar